Budaya Alam Minangkabau

Senin, 16 September 2013

RAO PASAMAN DAN KERAJAAN PADANG NUNANG

Oleh : Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1] 

 Rao dan Pasaman umumnya dalam subkultur Minang merupakan rantau Luak Agam yang kental menganut adat kelarasan koto piliang yang didirikan Datuk Ketumanggungan. Justru dalam tata pemerintahan masa Belanda, Pasaman (Ophir dan Lubuk Sikaping) bagian integral wilayah Afdeling Agam yang controleurnyan ketika itu berkedudukan di Onder Afdeling Ophir yakni di Talu. Sebab itu pula sampai sekarang, dalam pemerintahan adatnya terutama pada jejak kerajaan sapiah balahan Pagaruyung  yang ada di Pasaman (misalnya Kerjaan Padang Nunang Rao, Kerajaan Talu, Kerajaan Parik Batu Simpang Ampat, Kerajaan Kinali, Kerajaan Sontang[2] dsb) kental menganut aturan dan paham ketatanegaraan koto piliang. Kelarasan ini berpandangan bahwa lembaga raja, mulai dari Rajo Tigo Selo, amat dihormati dan status (kedudukannya) berada di atas segalanya.  

Kepopuleran Rao, di antaranya tidak bisa dilepaskan dari sejarah kebesaran kerajaan lama Padang Nunang - Rao, di samping nama besar tokoh Tuanku Rao (1790–1833). Tuanku Rao ini, ayahnya berasal Tarungtarung Rao dan ibu dari Padangmantinggi, kemudian dikenal sebagai  seorang tokoh paderi (1821 – 1837) terkemuka dan panglima perang, disebut amat gigih memerangi Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padanglawas, dan di Padangsidempuan. Ia juga seorang ulama penyebar Islam di Tanah Batak, yang masa remajanya belajar ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo (Agam), kemudian mendalaminya dengan Bonjol bidang fiqh al-Islam (juresprudensi Islam) sampai dianugerahi gelar Fakih Muhammad. Diceritakan ia menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao. Ia bertentangan mazhab dengannya (ia berpaham wahabiyah), juga mertuanya tidak menunjukkan perlawanan dengan Belanda, karenanya mengambil alih pemerintahan di Rao dan bergelar Tuanku Rao.

Kerajaan Padang Nunang, Rao jelas-jelas kerajaan kerabat Pagaruyung[3]. Razak banyak menceritakan prihal kerajaan ini bersumber dari ninik Mukti bin Abdullah di Sumur  Rao. Yang DiPertuan Rao, bersemayam di Koto Rao, Rao Mapat Tunggul. Kawasan  tapak istana tersebut boleh dilihat dari jambatan Sungai Asik , yang merupakan sempadan antara  Nagari Lubuak Layang, Mapat Cancang dan Lubuak Godang, Mapat Tunggul.

Kerajaan ini mulai mundur dari kejayaannya disebabkan, terjadi konflik dalam tubuh kerajaan. Raja – Raja Rao melakukan musyawarah mencari  solusi penyelesaian. Saat itu Yang Di Pertuan Rao sudah wafat menjadi korban Perang Padri.  Keputusan  musyawarah mengamanatkan perlu menjemput dan mengangkat seorang Raja dari istana Kerajaan Pagaruyung dengan memberi gelaran Yang DiPertuan sebagai safety valve (katup pengaman) konflik dalam Kerajaan. Lalu disepakati tiga orang raja  sebagai wakil Raja-Raja Rao untuk mengadap Raja Alam di istana Kerajaan Pagaruyung. Tiga orang raja itu ialah: (1) Sutan Komalo dari Padang Bariang, (2) Sutan Nadil dari Koto Panjang dan (3) Sutan Rajo Lelo dari  Tanjung  Boda. Ada juga catatan termasuk juga Dato' Rajo Malintang,  Lubuok Layang sebagai wakil utusan.

Sesampai di istana, wakil Padang Nunang diperkenankan memilih salah seorang kerabat yang ketika itu raja perempuan, terpilih yang tercantik. Pada waktunya raja pilihan dari Pagaruyung itu dikukuhkan dengan diberi gelar Yang DiPertuan di wilayah Koto Rajo, Mapattunggul. Pada upacara pengukuhan itu semua Raja Rao menyatakan kesetiaan kepada raja yang baru dikukuhkan itu. Malang tidak dapat ditolak, raja yang baru dikukuhkan itu rubuh di singgasana kerajaan. Diperiksa, ternyata ia sudah wafat. Dari suara-suara, disebabkan oleh “ketulahan”, sebuah mitos-mitos Minang, diperkiranya derajatnya rendah atau tidak keturunan raja, dan tidak bebannya yang dipikul. Wakil Raja Rao yang bertiga mengantarkan raja yang mangkat itu ke istana Pagaruyung, mengkhabarkan prihal kewafatannya serta berharap ada penggantinya yang lain dari istana Pagaruyung.

Sekembalinya di Rao, Raja-Raja Rao kembali mengadakan musyawarah. Keputusan yang diambil, kembali ke Pagaruyung meminta kader untuk menjadi Yang DiPertuan di Rao. Ketiga  wakil Raja Rao tadi diminta untuk pergi sekali lagi ke istana Pagaruyung, untuk mencari ganti raja perempuan yang wafat. Wakil Raja Rao membuat strategi sebelum menghadap Raja Pagaruyung. Mereka mengambil langkah diam-diam betemu dengan ketua protokoler (pengwal) istana Pagaruyung. Di sana mereka mendapatkan informasi menarik. Ada seorang perempuan derjatnya tinggi, ia keturunan raja langsung dari isterinya yang lain, tetapi dimarjinalkan, disisihkan dalam pergaulan istana, karena lahir dengan paras rupa kurang cantik. Sering dimarahi dan tidak dihormati, tetapi siapan yang memarahinya langsung sakit. Sakitnya tidak akan pernah sembuh, kalau tidak diobati dengan air basuh kaki perempuan keturunan raja itu. Pada saatnya wakil Rao itu meminta perempuan yang di dapur itu di Balai menghadap Raja Pagaruyung dan Raja memperkenankannya dibawa utusan dan diselenggarakan upacara naik nobat menjadi Yang DiPertuan Padang Nunang di Rao.

Yang DiPertuan dibangunkan istana baru. Istana lama di pindahkan. Rajo Malintang menguasai Lubuak Layang, berkenan memberikan sebidang tanah disebut Padang Nunang, Lubuk Layang, di situ dibangun istana baru. Kemudian gelar Yang Di Pertuan ditukar dengan Yang Di Pertuan Padang Nunang. Razak dari sumber ayahnya, mengisahkan, Yang DiPertuan Padang Nunang ini (Rajo perempuan dari Pagaruyung tadi) bertemu jodoh dengan keturunan  bangsawan  Mandailing.***
Padang, 2012

Catatan Akhir:

[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Dosen Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, Peneliti banyak menulis tentang kebudayaan terutama Minangkabau serta Kerajaan Sapiah Balahan Pagaruyung (Kerabat Minangkabau). Sekarang sedang menulis buku tentang Talu, Pasaman.  Blogg: www.wawasanislam.wordpress.com, e-mail: yy_datuk@yaho.com dan facebook: datukyuyu@yahoo.com.

[2] Yulizal Yunus, Kerajaan Pagaruyung, Alam Minangkabau dan Kerajaan-Kerajaan Kerabat, Makalah Pertemuan Pemangku Adat,  Balaiselasa: STAI, 2002). Baca juga Yulizal Yunus, Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari hingga Semangat Melayu Dunia. Padang: Pemkab Pessel – IAIN-IB Press, 2002.

[3]Kerajaan Padang Nunang Rao tidak banyak historika dokumenta yang berbicara dan akurat, tnamun fakta sosial cukup banyak bahkan sampai ke dunia maya cukup menyebar dan diperdebatkan cukup a lot. Razak Rao (dalam http://razakrao.multiply.com/), menayangkan cerita lama itu, tetapi diakuinya tidak mu’tamad (akurat), karena informasi diperoleh dari arwah ninik (cerita sejarah dari arawah). Riza Syahran Ganie gelar Sutan Khalifah juga member tanggpan dengan menambah informasi tentang Kerajaan Pasaman  Kehasilan Kalam. Nurul Wahyu Sanjaya (wahyuraorao@yahoo.co.id) lebih serius memberi tanggapan, dengan mengemukakan fakta sosial baru dan menarik terutama tentang kisah raja-rajanya. Ia menyebut Rajo Rao, di antaranya Sutan Maha Lebihi beserta keempat anaknya, yang masing-masing bergelar Ja Pardanonan (Raja Lumbung), Ja Kinari (Raja Sinar), Ja Suaro (Raja Suara), dan Maha Raja Lelo (Manga Raja Lelo) memindahkan istananya dari Rao ke Batang Natal (Muara Soma). Dari sharing informasi itu terbetik cerita teller history raja yang sulit dibuktikan (mitos) berkaitan dengan Nabi Suleman dan Ratu Bulkis, orang Minang popular dengan sebutan Balukih (seperti lukisan cantiknya) sukunya Nur yang berarti cahaya dan Minang. Nabi Sulaiman mengambil emas, kemenyan dan lada di Gunung Ophir sebutan untuk Gunung Pasaman sekarang, di situ pula ia mempersunting Bulkis Ratu Kerajaan Saba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar